Ada hadits pendek namun sarat makna dikutip Imam Suyuthi dalam bukunya
Al-Jami’ush Shaghir. Bunyinya, “Khairun naasi anfa’uhum linnaas.”
Terjemahan bebasnya: sebaik-baik manusia adalah siapa yang paling banyak
bermanfaat bagi orang lain.
Derajat hadits ini ini menurut Imam Suyuthi tergolong hadits hasan.
Syeikh Nasiruddin Al-Bani dalam bukunya Shahihul Jami’ush Shagir
sependapat dengan penilaian Suyuthi.
Adalah aksioma bahwa manusia itu makhluk sosial. Tak ada yang bisa
membantah. Tidak ada satu orangpun yang bisa hidup sendiri. Semua saling
berketergantungan. Saling membutuhkan.
Karena saling membutuhkan, pola hubungan seseorang dengan orang lain
adalah untuk saling mengambil manfaat. Ada yang memberi jasa dan ada
yang mendapat jasa. Si pemberi jasa mendapat imbalan dan penerima jasa
mendapat manfaat. Itulah pola hubungan yang lazim. Adil.
Jika ada orang yang mengambil terlalu banyak manfaat dari orang lain
dengan pengorbanan yang amat minim, naluri kita akan mengatakan itu
tidak adil. Orang itu telah berlaku curang. Dan kita akan mengatakan
seseorang berbuat jahat ketika mengambil banyak manfaat untuk dirinya
sendiri dengan cara yang curang dan melanggar hak orang lain.
Begitulah hati sanubari kita, selalu menginginkan pola hubungan yang
saling ridho dalam mengambil manfaat dari satu sama lain. Jiwa kita akan
senang dengan orang yang mengambil manfaat bagi dirinya dengan cara
yang baik. Kita anggap seburuk-buruk manusia orang yang mengambil
manfaat banyak dari diri kita dengan cara yang salah. Apakah itu menipu,
mencuri, dan mengambil paksa, bahkan dengan kekerasan.
Namun yang luar biasa adalah orang lebih banyak memberi dari mengambil
manfaat dalam berhubungan dengan orang lain. Orang yang seperti ini kita
sebut orang yang terbaik di antara kita. Dermawan. Ikhlas. Tanpa
pamrih. Tidak punya vested interes.
Orang yang selalu menebar kebaikan dan memberi manfaat bagi orang lain
adalah sebaik-baik manusia. Kenapa Rasulullah saw. menyebut seperti itu?
Setidaknya ada empat alasan. Pertama, karena ia dicintai Allah swt.
Rasulullah saw. pernah bersabda yang bunyinya kurang lebih, orang yang
paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.
Siapakah yang lebih baik dari orang yang dicintai Allah?
Alasan kedua, karena ia melakukan amal yang terbaik. Kaidah usul fiqih
menyebutkan bahwa kebaikan yang amalnya dirasakan orang lain lebih
bermanfaat ketimbang yang manfaatnya dirasakan oleh diri sendiri.
Apalagi jika spektrumnya lebih luas lagi. Amal itu bisa menyebabkan
orang seluruh negeri merasakan manfaatnya. Karena itu tak heran jika
para sahabat ketika ingin melakukan suatu kebaikan bertanya kepada
Rasulullah, amal apa yang paling afdhol untuk dikerjakan. Ketika musim
kemarau dan masyarakat kesulitan air, Rasulullah berkata membuat sumur
adalah amal yang paling utama. Saat seseorang ingin berjihad sementara
ia punya ibu yang sudah sepuh dan tidak ada yang merawat, Rasulullah
menyebut berbakti kepada si ibu adalah amal yang paling utama bagi orang
itu.
Ketiga, karena ia melakukan kebaikan yang sangat besar pahalanya.
Berbuat sesuatu untuk orang lain besar pahalanya. Bahkan Rasulullah saw.
berkata, “Seandainya aku berjalan bersama saudaraku untuk memenuhi
suatu kebutuhannya, maka itu lebih aku cintai daripada I;tikaf sebulan
di masjidku ini.” (Thabrani). Subhanallah.
Keempat, memberi manfaat kepada orang lain tanpa pamrih, mengundang
kesaksian dan pujian orang yang beriman. Allah swt. mengikuti
persangkaan hambanya. Ketika orang menilai diri kita adalah orang yang
baik, maka Allah swt. menggolongkan kita ke dalam golongan hambanya yang
baik-baik.
Pernah suatu ketika lewat orang membawa jenazah untuk diantar ke
kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut orang itu sebagai orang yang
tidak baik. Kemudian lewat lagi orang-orang membawa jenazah lain untuk
diantar ke kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut kebaikan si mayit.
Rasulullah saw. membenarkan. Seperti itu jugalah Allah swt. Karena itu
di surat At-Taubah ayat 105, Allah swt. menyuruh Rasulullah saw. untuk
memerintahkan kita, orang beriman, untuk beramal sebaik-baiknya amal
agar Allah, Rasul, dan orang beriman menilai amal-amal kita. Di hari
akhir, Rasul dan orang-orang beriman akan menjadi saksi di hadapan Allah
bahwa kita seperti yang mereka saksikan di dunia.
Untuk bisa menjadi orang yang banyak memberi manfaat kepada orang lain,
kita perlu menyiapkan beberapa hal dalam diri kita. Pertama, tingkatkan
derajat keimanan kita kepada Allah swt. Sebab, amal tanpa pamrih adalah
amal yang hanya mengharap ridho kepada Allah. Kita tidak meminta balasan
dari manusia, cukup dari Allah swt. saja balasannya. Ketika iman kita
tipis terkikis, tak mungkin kita akan bisa beramal ikhlas Lillahi
Ta’ala.
Ketika iman kita memuncak kepada Allah swt., segala amal untuk memberi
manfaat bagi orang lain menjadi ringan dilakukan. Bilal bin Rabah
bukanlah orang kaya. Ia hidup miskin. Namun kepadanya, Rasulullah saw.
memerintahkan untuk bersedekah. Sebab, sedekah tidak membuat rezeki
berkurang. Begitu kata Rasulullah saw. Bilal mengimani janji Rasulullah
saw. itu. Ia tidak ragu untuk bersedekah dengan apa yang dimiliki dalam
keadaan sesulit apapun.
Kedua, untuk bisa memberi manfaat yang banyak kepada orang lain tanpa
pamrih, kita harus mengikis habis sifat egois dan rasa serakah terhadap
materi dari diri kita. Allah swt. memberi contoh kaum Anshor. Lihat
surat Al-Hasyr ayat 9. Merekalah sebaik-baik manusia. Memberikan semua
yang mereka butuhkan untuk saudara mereka kaum Muhajirin. Bahkan, ketika
kaum Muhajirin telah mapan secara financial, tidak terbetik di hati
mereka untuk meminta kembali apa yang pernah mereka beri.
Yang ketiga, tanamkan dalam diri kita logika bahwa sisa harta yang ada
pada diri kita adalah yang telah diberikan kepada orang lain. Bukan yang
ada dalam genggaman kita. Logika ini diajarkan oleh Rasulullah saw.
kepada kita. Suatu ketika Rasulullah saw. menyembelih kambing. Beliau
memerintahkan seoran sahabat untuk menyedekahkan daging kambing itu.
Setelah dibagi-bagi, Rasulullah saw. bertanya, berapa yang tersisa.
Sahabat itu menjawab, hanya tinggal sepotong paha. Rasulullah saw.
mengoreksi jawaban sahabat itu. Yang tersisa bagi kita adalah apa yang
telah dibagikan.
Begitulah. Yang tersisa adalah yang telah dibagikan. Itulah milik kita
yang hakiki karena kekal menjadi tabungan kita di akhirat. Sementara,
daging paha yang belum dibagikan hanya akan menjadi sampah jika busuk
tidak sempat kita manfaatkan, atau menjadi kotoran ketika kita makan.
Begitulah harta kita. Jika kita tidak memanfaatkannya untuk beramal,
maka tidak akan menjadi milik kita selamanya. Harta itu akan habis lapuk
karena waktu, hilang karena kematian kita, dan selalu menjadi intaian
ahli waris kita. Maka tak heran jika dalam sejarah kita melihat bahwa
para sahabat dan salafussaleh enteng saja menginfakkan uang yang mereka
miliki. Sampai sampai tidak terpikirkan untuk menyisakan barang sedirham
pun untuk diri mereka sendiri.
Keempat, kita akan mudah memberi manfaat tanpa pamrih kepada orang lain
jika dibenak kita ada pemahaman bahwa sebagaimana kita memperlakukan
seperti itu jugalah kita akan diperlakukan. Jika kita memuliakan tamu,
maka seperti itu jugalah yang akan kita dapat ketika bertamu. Ketika
kita pelit ke tetangga, maka sikap seperti itu jugalah yang kita dari
tetangga kita.
Kelima, untuk bisa memberi, tentu Anda harus memiliki sesuatu untuk
diberi. Kumpulkan bekal apapun bentuknya, apakah itu finansial, pikiran,
tenaga, waktu, dan perhatian. Jika kita punya air, kita bisa memberi
minum orang yang harus. Jika punya ilmu, kita bisa mengajarkan orang
yang tidak tahu. Ketika kita sehat, kita bisa membantu beban seorang
nenek yang menjinjing tak besar. Luangkan waktu untuk bersosialisasi,
dengan begitu kita bisa hadir untuk orang-orang di sekitar kita.
0 comments:
Post a Comment