Kita perhatikan firman ALLOH Subhanahu Wata’ala :
Artinya kurang lebih :
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat : ”Sesungguhnya AKU hendak menjadikan kholifah di muka bumi” (2- Al Baqoroh : 30)
Yang dimaksud “Kholifah” adalah Nabi Adam ‘Alaihissalam yang menurunkan seluruh ummat manusia. Jadi setiap manusia, sebagai keturunan Nabi Adam ‘Alaihissalam dengan sendirinya sebagai ahli warisnya dan sekaligus menjadi Kholifah ALLOH
di muka bumi. Secara Adami berarti setiap manusia mempunyai tugas
kewajiban dan tanggung jawab menjalankan kekholifahan. Sebagai Kholifah ALLOH di bumi ummat manusia diberi tugas mengatur kehidupan dunia ini agar menjadi kehidupan yang baik dan benar yang diridloi ALLOH Subhanahu Wata’ala
Di dalam menjalankan fungsinya sebagai Kholifah ALLOH di
muka bumi, manusia tidak bebas begitu saja tanpa arah, melainkan harus
mengikuti haluan garis besar dan tujuan pokok yang harus dituju. Antara
lain seperti yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an Surat no. 51 Adz- Dzaariaat Ayat 56 :
Artinya kurang lebih :
“Dan tiada AKU menciptakan jin dan manusia melainkan agar supaya mereka beribadah mengabdikan diri kepada-KU” (51-Adz Dzaariyat : 56)
Jadi
segala perbuatan dan tingkah laku manusia dalam segala keadaan, situasi
dan kondisi yang bagaimanapun, hidup di dunia ini harus diarahkan untuk
pengabdian diri (beribadah) kepada ALLOH Subhanahu Wata’ala semata-mata karena ALLOH (LILLAH) sebagai pelaksanaan tugas “LIYA’BUDUUNI”.
Shahabat Ibnu Abbas Radliyallohu ‘anhuma seorang mufassir Al Qur’an yang terkenal sejak zaman Rosululloh Shollalloohu 'alaihi wasallam, menafsirkan kalimat “Liya’buduuni” dalam ayat tersebut dengan “Liya’rifuuni”. Artinya agar supaya jin dan manusia ma’rifat,
mengenal atau sadar kepada-KU (ALLOH). Menurut Syekh Al-Kalabi
disebutkan dalam Tafsir Al-Qurthubi, “Liya’buduni” ditafsiri
“Liyuwahhiduuni”. Artinya agar men-tauhid-kan (memahaesakan)_AKU. Dua penafsiran tersebut ada keterkaitan satu dengan yang lain. Untuk men-tauhid-kan Alloh Subhanahu Wata’ala harus mengenal-NYA lebih dulu. Mana mungkin seseorang men-tauhid-kan Alloh Subhanahu Wata’ala
sebelum mengenal-NYA. Jadi segala hidup dan kehidupan manusia (dan jin)
menurut tafsir ini harus sepenuhnya diarahkan atau sebagai sarana untuk
ma’rifat atau mengenal ALLOH Subhanahu Wata’ala Sang
Maha Pencipta sampai bisa menyadari, meyakini dan mengi’tikadkan dalam
hati bahwa segala sesuatu yang tercipta adalah ALLOH Subhanahu Wata’ala Sang
Maha Pencipta-lah yang menciptakannya, sehingga dalam hati mengakui dan
merasa bahwa pada hikikatnya tiada daya dan kekuatan melainkan dari
ALLOH Subhanahu Wata’ala. Dalam istilah lain senantiasa men-tauhidkan (memahaesakan) kepada ALLOH atau menerapkan BILLAH;
Begitu
pula ummat manusia tidak mungkin bisa melaksanakan pengabdian diri
kepada ALLOH (LILLAH) dan man-tauhid-kan BILLAH sesuai dengan ridlo-NYA
tanpa adanya pembimbing. Maka untuk membimbingnya ALLOH Subhanahu Wata’ala memilih di antara hamba-hamba-NYA dijadikan Nabi Pemimpin ummat, dan diantara Nabi-Nabi ada yang ditetapkan sebagai Rosul Utusan-NYA dengan dibekali Kitab Suci sebagai tuntunan hidup bagi ummat manusia. Nabi dan Utusan ALLOH Subhanahu Wata’ala yang terakhir adalah Junjungan kita Nabi Besar Muhammad Rosululloh Shollalloohu 'alaihi wasallam dengan Kitab Suci Al-Qur’an sebagai pedoman dan tuntunan hidup manusia sampai akhir zaman / Yaumil qiyaamah.
Dengan diutusnya Beliau Shollalloohu 'alaihi wasallam ummat manusia diwajibkan menyaksikan bahwa Beliau Shollalloohu 'alaihi wasallam sebagai Utusan Alloh dan mentaati atas perintah-perintahnya. Dalam
pelaksanaan taat kepada Beliau disamping pelaksanaan amaliah lahiriyah
tidak kalah pentingnya penataan niat / tujuan dalam batin / hati. Yakni
dalam pelaksanaan taat secara lahiriyah disamping didasari ibadah
semata-mata karena ALLOH (LILLAH) juga harus disertai tujuan mengikuti /
mentaati Rosululloh (LIRROSUL). Penerapan seperti inilah yang dibimbingkan pula dalam Ajaran Wahidiyah.
Jasa
seseorang tidak boleh diabaikan / dilupakan, melainkan harus diakuinya
dan disyukuri, baik dengan ucapan dan perbuatan maupun dengan pengakuan /
perasaan batin. Lebih-lebih jasa atas diperolehnya suatu ni’mat dan
anugerah yang amat besar nilainya. Yakni karunia iman dan islam. Padahal
dari sekian makhluq yang ada di alam ini tiada satupun yang berjasa
kepada kita manusia melebihi jasa Rosululloh Shollalloohu 'alaihi wasallam yang “rahmatan lil’alamiin”. Tiada satupun amal kebaikan yang terlepas dari jasa Beliau Shollalloohu 'alaihi wasallam.
Untuk itu setiap kita melakukan amal kebaikan seharusnya tidak
melupakan jasa Beliau , bahkan harus selalu merasa bahwa segala kebaikan
yang kita lakukan dan kita terima atas jasa Beliau Shollalloohu 'alaihi wasallam. Istilah Wahidiyah selalu menerapkan BIRROSUL.
Tiada
seorang pun yang hidup di alam ini yang tidak memerlukan atau tidak
berhubungan pihak lain. Kelahirannya saja di alam fana ini sudah
memerlukan banyak pihak. Setiap ada hubungan dengan pihak lain di situ
pasti timbul dengan sendirinya suatu hak dan kewajiban yang harus
dipenuhi. Penyimpangan dan penyalahgunaan dalam pemenuhan hak dan
kewajiban adalah suatu kezhaliman. Kezhaliman yang dilakukan oleh
seseorang akan mengakibatkan gelapnya hati dan penghalangnya pintu
kesadaran, keimanan, ketaqwaan kepada Dzat Maha Suci serta akan
memperberat tuntutan di alam baqa’ nanti. Dalam
Wahidiyah diberi bimbingan secara garis besar tentang kewajiban
pemenuhan hak terhadap pihak lain yang diistilahkan dengan YUKTII KULLA DZII HAQQIN HAQQOH (memberikan suatu hak kepada yang berhak menerimanya) dengan prinsip TAQDIIMUL AHAM FAL-AHAM TSUMMAL-ANFA’FAL-ANFA’ (mendahulukan sesuatu yang lebih penting (aham) dan yang lebih besar manfa’atnya (anfa’)).
Penjelasan
tentang apa yang diuraikan dalam muqaddimah ini Insya Alloh akan
dibahas lebih luas di bawan ini. Mudah-mudahan bermanfa’at dan
diriloinya fid-diini wad-dun-ya wal-akhirah. Amiin.
0 comments:
Post a Comment