Kita paham bahwa para Nabi dan Rosul yang diutus oleh Alloh kepada
umatnya masing-masing memiliki ad-din (al-millah, jalan hidup, way of
life) yang sama yaitu al-islam, ini karena Alloh tidak menerima ad-din
selain al-islam (surat Ali Imron (3) ayat 85). Dimana letak kesamaan
ad-din mereka itu? Untuk mengetahui hal ini kita buka kembali Al-Qur’an
karena ada penjelasan tentang hal ini padanya.
Dikatakan di dalam
Al-Qur’an surat An-Nahl (16) ayat 36, “ wa laqod ba’atsna fi kulli
ummatin rosulan, ani’budulloha wajtanibuth-thoghut …” Kata u’budu
adalah kata kerja bentuk perintah dari kata kerja ‘abada. Kata ‘abada
padanan katanya dalam bahasa Indonesia adalah mengabdi, menghambakan
diri, menyembah, beribadah. Sehingga kata u’budu terjemahannya adalah
mengbadilah, menghambakan dirilah, menyembahlah, beribadahlah kalian.
Subyek dari kata ‘abada adalah ‘abid atau ‘abd artinya yang mengabdi,
yang menghambakan diri, yang menyembah, yang beribadah atau padanan
katanya yang lain adalah kata hamba. Obyeknya adalah ma’bud yang artinya
yang diabdi, tempat menghambakan diri, yang disembah, yang diibadahi
atau padanan katanya yang lain adalah kata Tuan, Tuhan, dan kata ma’bud
padanan katanya dalam bahasa Arab adalah ilah. Selanjutnya digunakan
kata mengabdi untuk memaknai kata ‘abada, sehingga ayat di atas bisa
diterjemahkan menjadi ,” Dan sungguh telah Aku bangkitkan kepada
tiap-tiap umat seorang Rosul (lalu para Rosul itu menyeru kepada umatnya
masing-masing),” Mengabdilah kalian kepada Alloh dan jauhilah
Ath-Thoghut.”…” Ath-Thoghut dalam ayat ini artinya adalah segala
sesuatu yang diabdi selain Alloh. Dan dalam Al-Qur’an surat Al-Bayyinah
(98) ayat 5 dikatakan, yang artinya,” Tidaklah mereka diperintah kecuali
untuk mengbadi kepada Alloh dengan ikhlas untuk Dia semata ad-din …”
Ad-din dalam ayat ini maknanya adalah amal sholeh. Dan dalam Al-Qur’an
surat Adz-Dzariyat (51) ayat 56 dikatakan, yang artinya, “ Tidaklah Aku
ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi (kepada-Ku).” Serta di
dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 36 dikatakan, yang artinya,”
Mengabdilah kalian kepada Alloh dan janganlah kalian mensekutukan Dia
dengan sesuatu apapun (dalam pengabdian)…” Dari ayat-ayat di atas kita
tahu letak kesamaan ad-din (al-millah, jalan hidup, way of life)
diantara para Nabi dan Rosul yaitu bahwa mereka “mengabdi kepada Alloh
saja dan tidak mensekutukan Dia dengan sesuatu apapun (dalam pengabdian)
“ dan mereka menyeru kepada kaumnya masing-masing untuk berbuat
demikian. Sehingga kita tahu bahwa esensi dan prinsip dasar al-islam
adalah “ Engkau mengabdi kepada Alloh saja dan engkau tidak mensekutukan
Dia dengan sesuatu apapun (dalam pengabdian) “ Ungkapan bahasa Arabnya
adalah “ an ta’budulloha wa la tusyriku bihi syaia.” Ini merupakan
konsekuensi kalimat “la ilaha illalloh” maka orang yang mengucapkan dua
kalimat syahadat (Muslim) harus merealisasikan prinsip dasar ini. Lalu
yang lainnya, seluruhnya, merupakan penerapan atas prinsip dasar ini.
Jika
kita mengabdi kepada Alloh, maka hal itu mengharuskan kita untuk
mengenal Alloh sehingga kita yakin Alloh memang yang paling berhak untuk
diabdi (dijadikan Tuan, Tuhan tempat mengabdi), dan mengharuskan pula
kepada kita untuk mengetahui perintah-perintah dan larangan-larangan
Alloh artinya kita harus berilmu tentang Dia dan syari’at-Nya. Kita
tidak mungkin mengetahui kedua hal itu tanpa melalui wahyu (kalam Alloh,
ayat-ayat Alloh) yang Alloh turunkan kepada para Nabi dan Rosul-Nya dan
wahyu Alloh yang terjaga keasliannya hingga sekarang adalah Al-Qur’an
yang diturunkan kepada Nabi dan Rosul-Nya yang terakhir, Rosululloh SAW.
Kita mengabdi kepada Alloh dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya
dan menjauhi larangan-larangan-Nya yang ada di dalam Al-Qur’an yang
telah dicontohkan pelaksanaannya oleh Rosululloh SAW di dalam as-sunnah
dan kita mengetahu as-sunnah dari hadits-hadits yang shohih. Jika kita
melaksanakan perintah-perintah Alloh dan menjauhi larangan-larangan-Nya
dengan ikhlas karena Dia semata, maka inilah yang dinamakan mengabdi
kepada Alloh. Jika kita melakukan sesuatu dan menjauhi sesuatu, yang ada
dasarnya dalam perintah-perintah Alloh dan larangan-larangan-Nya,
karena selain Dia, misalnya karena segala sesuatu yang dijadikan ilah
atau ma’bud (Tuan, Tuhan) selain Alloh seperti Latta, Uzza, Manat, dan
lain-lain atau karena semata-mata menganggap itu adalah perbuatan baik,
atau karena matif-motif keduniaan atau karena yang lainya, maka ini
tidak bisa disebut mengabdi kepada Alloh dan perbuatan tersebut tidak
akan diterima oleh Alloh dan diakherat kelak akan rugi orang yang
melaksanakan hal itu. Namun, di dunia ini, apa saja yang diperintahkan
oleh Alloh pasti mengandung maslahat. Siapapun yang menjalankan perintah
Alloh dan menjauhi larangan-Nya, apakah itu dilakukan dengan ikhlas
karena Alloh atau tidak, pasti akan memperoleh maslahat di dunia.
Mengabdi kepada Alloh dengan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Alloh
adalah sia-sia karena tidak akan diterima Alloh, inilah yang dinamakan
bid’ah, lebih-lebih lagi jika mengabdi kepada Alloh dengan sesuatu yang
dilarang Alloh.
Dengan demikian al-islam itu mengandung dua unsur
yang tidak bisa dipisahkan yaitu Alloh dan bentuk-bentuk pengabdian
kepada-Nya. Alloh adalah al-ma’bud, al-ilah (Tuan, Tuhan) yang menjadi
sebab dilakukannya semua bentuk-bentuk pengabdian kepada-Nya. Adapun
bentuk-bentuk pengabdian kepada Alloh adalah pelaksanaan
perintah-perintah Alloh dan penjauhan diri dari larangan-larangan-Nya
yang telah dicontohkan pelaksaannya dengan sempurna oleh Rosululloh SAW,
dan itu pasti akan membawa maslahat di dunia dan di akherat. Karena
adanya maslahat itulah bentuk-bentuk pengabdian kepada Alloh tersebut
dinamakan amal sholeh. Sebagai contoh, kita tahu Alloh memerintahkan
kita untuk menegakkan sholat (surat An-Nisa’ (4) ayat 103) maka kita
tegakkan sholat sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rosululloh SAW
dalam as-sunnah, jika hal ini dilakukan karena Alloh semata, maka inilah
yang dimaksud dengan mengabdi kepada Alloh dan amalan tersebut akan
diterima oleh Alloh. Demikian juga dengan amalan yang lain yang
merupakan pelaksanaan perintah Alloh yang lain seperti zakat, puasa,
haji, membaca ayat-ayat Alloh, makan dan minum yang halal dan baik,
berbuat baik, nikah, kejujuran, keadilan, tolong menolong dalan
kebaikan, dan lain-lain yang semuanya itu ada di dalam Al-Qur’an dan
hadits-hadits yang shohih, semuanya akan diterima Alloh jika dilakukan
dengan ikhlas karena Alloh siapapun yang melakukannya. Demikianlah
al-islam.
Kalau esensi dan prinsip dasar al-islam adalah ,” an
ta’budulloha wa la tusyriku bihi syaia “ maka ghoirul-islam, sebagai
lawannya, esensi dan prinsip dasarnya adalah “ an ta’budu ghoirollohi wa
tusyriku bihi syaia “ yang artinya, “ Engkau mengabdi kepada selain
Alloh dan engkau mensekutukan Dia dengan sesuatu (dalam pengabdian) “
Tentu saja amal apapun jika didasari oleh prinsip dasar ini maka tidak
akan diterima oleh Alloh, siapapun yang mengamalkannya bahkan seorang
Muslim sekalipun.
0 comments:
Post a Comment